TIMES HAJI, JEMBER – SEJARAH seringkali menjadi guru terbaik dalam memahami perjalanan manusia. Kisah bangsa Mongol menawarkan landasan yang kuat bagi kita untuk merefleksikan pentingnya stabilitas politik, keadilan sosial, dan penanganan konflik yang bijaksana dalam menjaga kelangsungan suatu peradaban.
Melalui prisma ini, kita dapat mengamati bagaimana kegagalan dalam menjaga tiga aspek ini telah membawa pada keruntuhan yang mengancam dan merugikan. Al-Quran, sebagai pedoman utama bagi umat Islam, juga memberikan panduan yang jelas mengenai pentingnya stabilitas politik, keadilan sosial, dan penyelesaian konflik yang bijaksana.
Stabilitas Politik: Pondasi Keberlangsungan
Stabilitas politik merupakan pondasi utama bagi kelangsungan suatu negara atau kekaisaran. Bangsa Mongol, pada puncak kejayaannya, berhasil memperluas wilayah kekuasaannya hingga mencapai titik tertinggi dalam sejarah dunia. Namun, di balik kemegahan dan kekuatan mereka, terdapat kelemahan yang merongrong pondasi politik mereka.
Kekuasaan yang besar tanpa dasar legitimasi yang kuat sering kali rentan terhadap goncangan internal dan eksternal. Meskipun bangsa Mongol mampu menaklukkan wilayah-wilayah luas, struktur politik mereka cenderung otoriter dan kurang memperhatikan keadilan dalam pemerintahan. Kurangnya partisipasi politik dari berbagai lapisan masyarakat, serta dominasi kekuasaan yang sentralistik, menciptakan ketidakstabilan yang menjadi ancaman nyata bagi keberlangsungan kekaisaran.
Dalam Al-Quran, Allah SWT menekankan pentingnya pemerintahan yang adil dan stabil dalam menjaga kesejahteraan umat. Surah An-Nahl ayat 90 menyatakan: "Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, berbuat baik, dan memberi kepada kaum kerabat, dan Dia melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan." Ayat ini menyoroti bahwa stabilitas politik yang didasarkan pada keadilan adalah panggilan Ilahi yang harus diemban oleh setiap pemimpin.
Selanjutnya, Al-Quran juga menegaskan bahwa kekuasaan adalah anugerah yang harus dipertanggungjawabkan. Surah Al-Baqarah ayat 30 menyatakan: "Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan orang yang akan membuat kerusakan di bumi dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? "Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.'" Ayat ini mengingatkan bahwa kekuasaan harus digunakan untuk kebaikan umat dan kesejahteraan bersama, bukan untuk penindasan atau kepentingan pribadi semata.
Dari dua ayat di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa stabilitas politik yang berkelanjutan hanya dapat dicapai melalui pemerintahan yang adil, responsif terhadap kebutuhan rakyatnya, dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan. Stabilitas politik yang kokoh akan memperkuat pondasi suatu negara, menjaga persatuan dan kesatuan, serta memastikan kelangsungan pembangunan dan kemajuan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, menjadikan keadilan sebagai pilar utama dalam sistem politik adalah kunci untuk mencegah keruntuhan yang menghancurkan.
Keadilan Sosial: Pondasi Kemakmuran Bersama
Keadilan sosial adalah pilar yang tidak dapat dipisahkan dari stabilitas politik. Dalam konteks bangsa Mongol, meskipun mereka memiliki kekayaan dan kekuasaan yang besar, namun keadilan sosial seringkali terabaikan, menyebabkan ketidaksetaraan yang meresahkan dalam masyarakat. Distribusi yang tidak merata dari hasil kekayaan dan perlakuan tidak adil terhadap rakyat merupakan ciri khas dari pemerintahan yang otoriter dan tidak responsif.
Ketidakadilan sosial sering kali menjadi sumber konflik internal yang memperlemah kekaisaran. Ketika sebagian kecil elit memperkaya diri mereka sendiri sementara mayoritas rakyat hidup dalam kemiskinan dan ketidakpastian, ketegangan sosial akan terus tumbuh dan akhirnya meledak menjadi pemberontakan dan pemberontakan.
Dalam Al-Quran, keadilan sosial adalah nilai yang ditekankan secara konsisten. Allah SWT memerintahkan umatnya untuk menghormati hak-hak sesama manusia dan memastikan kesetaraan dalam kehidupan sosial. Surah Al-Hujurat ayat 13 menyatakan: "Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu." Ayat ini menekankan bahwa semua manusia, tanpa memandang status sosial atau kekayaan materi, memiliki nilai yang sama di hadapan Allah SWT.
Selain itu, Al-Quran juga menegaskan pentingnya memberikan hak-hak yang adil kepada semua orang. Surah An-Nisa ayat 135 menyatakan: "Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah meskipun terhadap dirimu sendiri, atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu tentang keduanya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari keadilan. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau tidak (mau) memberinya (kesaksian) maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."
Dari dua ayat di atas, kita dapat memahami bahwa keadilan sosial adalah prinsip yang mendasari hubungan antar manusia dalam Islam. Semua orang, tanpa pandang bulu, berhak mendapatkan perlakuan yang adil dan setara dalam masyarakat. Keadilan sosial bukan hanya merupakan tugas moral, tetapi juga kewajiban agama yang harus dipenuhi oleh setiap muslim.
Dalam konteks bangsa Mongol dan pembelajaran dari Al-Quran, kita dapat menyimpulkan bahwa keadilan sosial bukanlah sekadar keinginan atau aspirasi, tetapi adalah prasyarat bagi kemakmuran bersama dan kestabilan sosial. Negara yang mampu memastikan kesejahteraan bagi semua warganya, tanpa memandang latar belakang atau status sosial, akan mampu memperkuat fondasi kekuasaannya dan menghindari ancaman keruntuhan yang ditimbulkan oleh ketidakpuasan dan ketegangan sosial. Oleh karena itu, keadilan sosial harus menjadi prioritas utama dalam pembangunan dan perumusan kebijakan negara.
Mengelola Konflik: Jalan Menuju Kesejahteraan
Penanganan konflik yang bijaksana merupakan kunci untuk mencegah eskalasi kekerasan dan kehancuran suatu negara. Bangsa Mongol, dalam perjalanannya, seringkali terlibat dalam konflik internal dan eksternal yang berdampak negatif pada stabilitas politik dan keberlangsungan kekaisaran mereka. Kurangnya strategi yang bijaksana dalam menangani konflik sering kali memperburuk situasi dan mengancam keberlangsungan negara.
Dalam Al-Quran, Allah SWT mengajarkan umat manusia untuk mengelola konflik dengan bijaksana dan mengutamakan perdamaian. Surah Al-Baqarah ayat 190 menyatakan: "Dan perangi lah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." Ayat ini menegaskan bahwa dalam menanggapi konflik, umat Islam harus bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip moral dan etika yang ditetapkan oleh Islam, dan tidak boleh melampaui batas yang ditentukan.
Selain itu, Al-Quran juga menegaskan pentingnya dialog dan penyelesaian konflik secara damai. Surah Al-Hujurat ayat 9 menyatakan: "Dan jika dua golongan mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berlaku aniaya terhadap yang lain, maka perangilah golongan yang berlaku aniaya itu hingga kembali kepada perintah Allah. Kemudian jika telah kembali, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." Ayat ini menekankan pentingnya mencari jalan damai dalam menyelesaikan konflik, dan bahwa penyelesaian yang adil dan berdasarkan kebenaran harus diutamakan.
Dari dua ayat di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa Islam mengajarkan umatnya untuk mengelola konflik dengan bijaksana, mengutamakan perdamaian, dan menyelesaikan konflik dengan cara yang adil dan berdasarkan kebenaran. Penyelesaian konflik yang damai akan membawa manfaat jangka panjang bagi kedua belah pihak, sementara penyelesaian dengan kekerasan hanya akan menimbulkan penderitaan dan kehancuran.
Dalam konteks pembelajaran dari sejarah bangsa Mongol, kita dapat melihat bahwa penanganan konflik yang tidak bijaksana dapat membawa pada kehancuran dan keruntuhan suatu negara. Oleh karena itu, penting bagi negara dan pemimpinnya untuk mengadopsi pendekatan yang bijaksana dalam menanggapi konflik, dengan mengutamakan dialog, perdamaian, dan penyelesaian yang adil. Hanya dengan demikian, negara dapat menghindari ancaman keruntuhan yang disebabkan oleh ketegangan dan konflik yang tidak terkendali.
***
*) Oleh : Mohammad Adil Mubarok, Sarjana Universitas Islam Negeri Kyai Haji Achmad Siddiq, Jember.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
___
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.