TIMES HAJI, JEMBER – Belakangan ini, sebuah artikel dari Muchamad Aly Reza yang dipublikasikan di Mojok.com dengan judul "Warga Desa Sebenarnya Muak dengan Mahasiswa KKN: Nggak Bantu Atasi Masalah Desa, Cuma Bisa bikin Les dan Acara 17 Agustusan" sedang viral di sosial media. Artikel yang dirilis pada tanggal 15 Juli 2024, telah menarik perhatian banyak warganet untuk memberikan komentar, yang menghasilkan berbagai tanggapan pro dan kontra.
Sebagai ulasan singkat, secara umum tulisan ini menggambarkan bahwa Kuliah Kerja Nyata (KKN) pada awalnya dirancang sebagai program pengabdian masyarakat di desa-desa terpencil. Tujuannya adalah untuk membantu mengatasi masalah-masalah yang dihadapi oleh warga desa.
Namun, belakangan ini, beberapa warga desa justru merasa kecewa dan muak dengan kehadiran mahasiswa KKN. Mereka mengeluh bahwa mahasiswa KKN sering kali tidak memberikan kontribusi yang signifikan, bahkan terkadang dianggap sebagai beban tambahan bagi desa tersebut.
KKN sendiri bisa diibaratkan seperti jembatan yakni menghubungkan pendidikan tinggi melalui mahasiswa dengan kebutuhan masyarakat. Melalui partisipasi dalam KKN, diharapkan mahasiswa dapat mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang kondisi riil masyarakat, menangkap berbagai permasalahan yang dihadapi, serta mencari solusi yang relevan sesuai dengan bidang studi mereka.
Melansir dari laman Kemendikbud Ristek, KKN sebenarnya adalah Mata kuliah yang mewajibkan mahasiswa berkunjung ke suatu daerah dalam jangka waktu tertentu, walaupun di era sekarang tidak semua kampus mewajibkan KKN. Saya sebagai bagian dari warganet, akademisi, bahkan pernah merasakan menjadi mahasiswa KKN, sebenarnya ada beberapa hal yang saya disepakati dan tidak dari tulisan tersebut.
Hal yang tidak saya sepakati pada poin mahasiswa KKN cenderung bermalas-malasan, pandangan ini terlalu subjektif kalau hanya menilai mahasiswa KKN malas karena tak memberi dampak apapun pada kemajuan desa.
Sejatinya saya 50/50 terhadap pendapat tersebut, benar adanya tidak semua mahasiswa KKN serius mengikuti kegiatan KKN dengan serius bahkan ada yang hanya berniat sekedar ikut KKN untuk menyelesaikan kewajiban kuliah, tempat untuk mencari “pacar”, bahkan ada stigma posko KKN dijadikan sebagai tempat untuk menguji kesetiaan pasangan namun kita tidak dapat memungkiri bahwa ada juga mahasiswa yang benar-benar berniat serius untuk mengaplikasikan ilmu yang mereka pelajari ke masyarakat, berinteraksi, mengenal budaya baru, dan memperkaya pengalaman langsung ke masyarakat.
Menurut saya, itu tergantung dari niat masing-masing peserta KKN, karena balik lagi mindset mahasiswa KKN terjun ke desa itu berbeda-beda. Dinilai malas dengan indikator karena tak memberi dampak apapun pada kemajuan desa terkesan terlalu berlebihan karena bukan kewajiban utama mahasiswa KKN.
Kemajuan sebuah desa merupakan tanggung jawab bersama pemerintah desa, tokoh agama, pemuda, tokoh masyarakat dengan warga desa yang bersangkutan. Jadi, dengan waktu yang singkat tidak mungkin mahasiswa KKN bisa memberikan dampak yang begitu signifikan pada kemajuan desa.
Poin kedua, yaitu menjadikan les-lesan sebagai program unggulan, sebenarnya telah menjadi favorit sebagai program kerja karena biayanya rendah dan fleksibilitas waktunya yang tinggi. Tetapi perlu diingat juga bahwa membuka les dan forum belajar kelompok bukanlah program kerja utama yang dirancang oleh mahasiswa KKN, karena biasanya mahasiswa KKN memiliki Program Kerja (Proker) secara individu dan kelompok.
Berdasarkan pengalaman pribadi sebagai Dosen Pembimbing Lapangan (DPL), kami secara kolaboratif melakukan observasi terlebih dahulu sebelum menawarkan program kerja ke masyarakat. Tentunya proker yang ditawarkan berdasarkan kebutuhan warga desa yang disesuaikan dengan potensi yang ada, proker yang ditawarkan juga setidaknya bisa dilaksanakan sehingga terkesan tidak memaksakan agar mahasiswa dan warga desa sama-sama merasa dilibatkan dalam pemilihan proker, singkat kata simbiosis mutualisme dalam proker KKN bisa tercapai.
Poin ketiga yakni output KKN perlu diubah, saya sependapat dengan opini ini. Perlu dilakukan perubahan pada program KKN untuk meningkatkan efektivitas dan nilai kontribusinya terhadap masyarakat. Jadi kegiatan KKN tidak hanya terkesan pindah tempat tidur dan makan tetapi pelaksanaan KKN harus sesuai dengan budaya akademik, tuntutan zaman, keahlian mahasiswa, dan kondisi sosial masyarakat. Pihak kampus tentunya tidak tinggal diam, hampir semua kampus sekarang sudah banyak melakukan evaluasi dengan inovasi dan perubahan dalam berbagai bentuk kegiatan pengabdian kepada masyarakat termasuk program KKN.
Jadi, kesimpulan yang bisa saya ambil tulisan tersebut terkesan subjektif karena pendapat pribadi tidak bisa digeneralisasi bahwa mahasiswa KKN menimbulkan ketidaknyamanan di masyarakat. Bukti nyata dapat ditemukan di berbagai media, baik cetak, elektronik, maupun sosial, bahwa mahasiswa KKN telah berhasil memberikan kontribusi melalui inovasi-inovasi yang langsung dirasakan oleh warga desa.
***
*) Oleh : M. Al Qautsar Pratama, M. Hum, Dosen UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.